flipmagz

Jumat, 22 Februari 2013

Ahlussunnah Wal Jama’ah dengan Khilafah






Banyak dikalangan mereka yang mengaku-ngaku Ahlussunnah wal Jama’ah menolak Khilafah. Alasannya bervariasi, ada yang bilang “tidak boleh membangkang pada pemerintah lah”, “Khilafah hanya esensi lah” atau ratusan alasan-alasan yang intinya mereka tidak menyetujui khilafah bahkan menolaknya. 
Sungguh ironis, jika kita lihat dari sisi lain kehidupan seorang muslim hari ini, maka akan kita dapati bahwa umat muslim hari ini telah dipisahkan dari Islam. Malah, faham demokrasi yang jelas-jelas bukan ajaran Islam bahkan mengkufuri ‘Uluhiyyah Allah ini diterima dengan lapang tangan dan menolak Khilafah yang sudah jelas ajaran Islam dan Pemerintahan Islam yang syah.
Dari sini saya tergugah untuk membuat tulisan singkat yang mungkin takkan bisa menjelaskan secara gamblang hubungan Aswaja(Ahlussunnah Wal Jama’ah) dengan Khilafah. Namun setidaknya ada gambaran mengenai hubungan keduanya.
Aswaja…
Definisi Aswaja (Ahlus Sunnah wal Jamaah), menurut Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, adalah golongan kaum muslimin yang berpegang dan mengikuti As-Sunnah (sehingga disebut ahlus sunnah) dan bersatu di atas kebenaran (al-haq), bersatu di bawah para imam [khalifah] dan tidak keluar dari jamaah mereka (sehingga disebut wal jamaah). (Nashir bin Abdul Karim Al-Aql, Rumusan Praktis Aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah, Solo : Pustaka Istiqomah, 1992, hal. 16). Definisi serupa disampaikan oleh Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kitabnya Al-Ghaniyah, bahwa disebut ahlus sunnah karena mengikuti apa yang ditetapkan Nabi SAW (maa sannahu rasulullah SAW). 

Dan disebut wal jamaah, karena mengikuti ijma’ shahabat mengenai keabsahan kekhilafahan empat khalifah dari Khulafa` Rasyidin) (maa ittifaqa ‘alaihi ashhabu rasulillah fi khilafah al-a`immah al-arba’ah al khulafa` ar-rasyidin). (Balukia Syakir, Ahlus Sunnah wal Jamaah, Bandung : Sinar Baru, 1992, hal. 31).
Dari definisi di atas, dapat kita ambil kesimpulan bahwa AhlusSunnah Wal Jamaah(Aswaja) adalah segolongan umat muslim yang berpegang teguh pada Sunnah Rasul dan bersatu diatas kebenaran(al-Haq), bersatu di bawah para imam (Khalifah) dengan kaidah Ushul Fiqh dan tidak keluar dari jamaah tersebut. Jika benar yang dikatakan para fuqoha diatas, maka inilah kriteria Aswaja yang sebenarnya. 

Dan Khilafah pun seharusnya bukan hal yang tabu dan perlu didebatkan akan kewajibannya di kalangan Aswaja yang notabene sangat lekat dengan Khilafah (Imamah). Tujuan saya menulis artikel ini, agar pembaca memiliki gambaran yang jelas mengenai hubungan Khilafan dengan Aswaja dan tidak menjadi salah arti dengan kata Khilafah.

Kewajiban Khilafah…
Khilafah adalah bentuk pemerintahan dalam Islam. Khilafah dan shalat adalah sama-sama kewajiban. Namun, jika kewajiban mendirikan shalat dengan mudah kita dapati dalilnya dengan fi’il amr yang jelas, tidak demikian dengan kewajiban mendirikan khilafah. Titik ini yang sering disoroti oleh orang-orang yang meragukan kewajiban mendirikan khilafah. Mereka mengatakan bahwa kewajiban menegakkan Khilafah tidak ada dalilnya.
Banyak dalil yang menunjukkan kewajiban menegakkan syariah. Di antaranya dalil tentang wajibnya mentaati Allah, RasulNya dan pemimpin (An-Nisaa : 59). Ayat ini mengharuskan adanya pemimpin yang menerapkan aturan Allah dan RasulNya. Pada Qur’an surat Al-Maidah ayat 44, 45, 47, 48, dan 49 secara tegas mengandung perintah menerapkan syariah.
Setiap Aswaja sudah sepatutnya memahami akan kaidah ushul fiqh. Dalam memahami dan meng-ijtihadi sebuah hukum bagi perbuatan atau benda. Seperti salah satu kaidah fiqh “maa laa yatimul wajib ila biihi fahuwa wajib”. Kaidah yang dipelopori oleh Al Imam Al Ghazali ini bukan serta merta ada dengan sendirinya atau malah perkiraan belaka. Kaidah ini berdasarkan penelitian para ulama terhadap nash-nash Al Qur’an. Jadi jelaslah Ahlussunnah wal jamaah yang sebenarnya adalah mereka yang mengambil pula kaidah-kaidah ushul fiqh sebagai penentu sebuah hukum perbuatan atau benda.
Dalam hal wajibnya khilafah, Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi (w. 429 H) Dalam kitab Al-Farqu Baina Al-Firaq, karyanya menerangkan 15 prinsip Aswaja. Prinsip ke-12 adalah kewajiban adanya Khilafah (Imamah). Kata Abdul Qahir al-Baghdadi,”Inna al-imaamah fardhun ‘ala al-ummah.” (sesungguhnya Imamah [Khilafah] fardhu atas umat). (Lihat Imam Abdul Qahir Al-Baghdadi, Al-Farqu Baina Al-Firaq, Beirut : Darul Kutub Al-Ilmiah, 2005, hal. 270). Dalam kitab Al-Masa`il Al-Khamsuun fi Ushul Ad-Din hal. 70, karya Imam Fakhruddin Ar-Razi (w. 606 H) beliau mengatakan,”Mengangkat Imam [khalifah] adalah wajib atas umat Islam.” Pernyataan serupa juga ditegaskan oleh Imam Ibnu Hazm (w. 456 H) dalam kitabnya ‘Ilmu Al-Kalam ‘Ala Mazhab Ahlis Sunnah wal Jamaah hal. 94 pada bab Mas`alah fi Al-Imamah.
Hal yang sama juga terdapat dalam kitab Al-Hushuun Al-Hamidiyah, karya Sayyid Husain Efendi, hal.189, beliau mengatakan,”Ketahuilah bahwa wajib atas kaum muslimin secara syara’ untuk mengangkat seorang Khalifah…” (i’lam annahu yajibu ‘ala al-muslimin syar’an nashb al-khalifah…).
Selain dalam kitab-kitab aqidah seperti dicontohkan di atas, dalam kitab-kitab tafsir, hadits, atau fiqih akan ditemukan kesimpulan serupa bahwa Khilafah memang kewajiban syar’i menurut paham Aswaja. Imam Al-Qurthubi dalam tafsir Al-Qurthubi (1/264) menyatakan,”Tidak ada perbedaan pendapat mengenai wajibnya yang demikian itu [Khilafah] di antara umat dan para imam, kecuali yang diriyawatkan dari Al-Asham, yang memang asham (tuli) dari syariah (laa khilaafa fi wujubi dzaalika baina al-ummah wa laa baina al-aimmah illa maa ruwiya ‘an al-asham haitsu kaana ‘an asy-syariah asham…).
 Imam Nawawi dalam Syarah Muslim (12/205) berkata,”Ulama sepakat bahwa wajib atas kaum muslimin mengangkat seorang khalifah.” (ajma’uu ‘alaa annahu yajibu ‘ala al-muslimin nashbu khalifah). Imam Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sulthoniyah hal. 5 berkata,”Mengadakan akad Imamah bagi orang yang melaksanakannya di tengah umat, adalah wajib menurut ijma’.” (aqdul imamah liman yaquumu bihaa fi al-ummah waajibun bil ijma’).
Sekiranya penjelasan singkat mengenai wajibnya menegakkan Khilafah diatas cukup membangun pemikiran kita dan mau mengetahui lebih dalam lagi. Dan tidak hanya itu, sudah seharusnya sebagai aswaja yang “baik” dapat mengaplikasikannya di kehidupan. Dan ikut mendakwahkan tentang wajibnya Imamah (Khilafah) bagi umat.

Mengapa Harus Khilafah?
1.       Dalil Qur’an
Dalil Qur’an tentang wajibnya menerapkan khilafah adalah dalil-dalil kewajiban berhukum dengan syariah sebagaimana dipaparkan di atas. Selain itu, ada juga dalil Qur’an yang mencantumkan kata “khalifah” di dalamnya, yaitu ayat berikuti ini :
 وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30).
Memang ada banyak penafsiran atas kata “khalifah”. At-Thabariy berpendapat bahwa “khalifah” yang dimaksud adalah pemimpin untuk kalangan jin. Sedangkan asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi berpendapat bahwa maksudnya pemimpin untuk malaikat. Sedangkan Ibnu Katsir memaknai penyebutan “khalifah” karena manusia menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain (arti khalifah sendiri adalah pengganti.
Namun, ada pendapat keempat : maksud ayat di atas adalah manusia diturunkan untuk menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi. Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia.
2.       Dalil hadits
Perhatikan hadits-hadits ini :
“Dahulu para nabi yang mengurus Bani Israil. Bila wafat seorang nabi diutuslah nabi berikutnya, tetapi tidak ada lagi nabi setelahku. Akan ada para Khalifah dan jumlahnya akan banyak.” Para Sahabat bertanya,’Apa yang engkau perintahkan kepada kami? Nabi menjawab,’Penuhilah bai’at yang pertama dan yang pertama itu saja. Penuhilah hak-hak mereka. Allah akan meminta pertanggungjawaban terhadap apa yang menjadi kewajipan mereka.”
[HR. Muslim]
“Di tengah-tengah kalian terdapat zaman kenabian, atas izin Allah ia tetap ada.  Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Ia ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada.  Lalu Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya.  Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) yang zalim; ia juga ada dan atas izin Allah ia akan tetap ada.  Lalu  Dia akan mengangkatnya jika Dia berkehendak mengangkatnya. Kemudian akan ada kekuasaan (kerajaan) diktator yang menyengsarakan; ia juga ada dan atas izin Alah akan tetap ada.  Selanjutnya  akan ada kembali Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Beliau kemudian diam. (HR Ahmad dan al-Bazar).
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa para pemimpin umat Islam sepeninggal Nabi SAW disebut sebagai khalifah. Memang ini sifatnya khabar bukan perintah. Namun, sebuah hadits ahad tidak mungkin dijadikan dasar aqidah, dan oleh karenanya menjadi dasar amal. Maknanya, hadits ini mengharuskan kita beramal untuk mewujudkan khilafah.
3.       Dalil ijma shahabat
Ijma shahabat adalah tafsir terbaik atas Qur’an dan Sunnah. Para shahabat adalah rujukan pertama sekaligus standar kebenaran tatkala kita ingin memahami Qur’an dan Sunnah. Fakta menunjukkan bahwa para shahabat sibuk memilih khalifah bahkan hingga menunda pemakaman Rasulullah SAW.
Abu Bakar r.a. dibaiat sebagai khalifah, dengan sebutan yang memang “khalifah” lalu disepakati oleh para shahabat. Kesepakatan (ijma) mereka menjadi dalil bahwa khilafah itu wajib dan bahwa bentuk pemerintahan Islam adalah khilafah.
Ijma shahabat tidak mungkin diganggu gugat. Rasulullah SAW menjamin bahwa mereka generasi terbaik. Mereka adalah manusia terbaik dengan pemahaman yang terbaik atas apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW.
Kata Para Ulama Tentang Khilafah
Kaidah fiqh yang disebutkan di atas menjadi salah satu pendapat ulama yang mendukung kewajiban pendirian khilafah. Selain itu, seluruh imam mazhab dan para mujtahid besar tanpa kecuali telah bersepakat bulat akan wajibnya Khilafah (atau Imamah) ini. Syaikh Abdurrahman Al Jaziri menegaskan hal ini dalam kitabnya Al Fiqh ‘Ala Al Madzahib Al Arba’ah, jilid V, hal. 362.
Para imam mazhab (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad) rahimahumullah telah sepakat bahwa Imamah (Khilafah) itu wajib adanya, dan bahwa umat Islam wajib mempunyai seorang imam (khalifah) yang akan meninggikan syiar-syiar agama serta menolong orang-orang yang tertindas dari yang menindasnya.
Pendapat ulama lainnya tentang khilafah bisa dibaca di sinihttp://syabab1924.blogspot.com/2011/01/kewajiban-khilafah-dan-pandangan-ulama.html
Jelaslah bahwa mendirikan khilafah itu wajib, dan berdosa meninggalkannya. Tanpa khilafah, banyak aspek syariah yang terbengkalai. Di samping itu, mendirikan Khilafah adalah wujud ketaatan kita pada Allah SWT dan RasulNya. Jadi, jika ada pendapat bahwa kewajiban mendirikan Khilafah tidak ada landasannya dalilnya, apalagi ia mengaku Aswaja, (Ahlussunnah Wal Jamaah) maka entah dalil apa lagi yang dimaksud. Wallahu a’lam. []
oleh : Bhakti Aditya P. dari berbagai Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar